Final Piala Thomas 1967 dan Penonton
Istora
Meskipun maju ke final sebagai juara bertahan (juara 1964 vs Denmark 5-4), oleh sebab itu hanya menunggu pemenang Challenge Round, sebenarnya kondisi dunia Bulutangkis di tanah air waktu itu sedang berada pada titik nadir.
Pahlawan Piala Thomas Indonesia 1958 - 1964 Tan Joe Hock telah mengundurkan diri. Ferry Sonneville sudah berusia 36 th dan sudah beberapa saat tidak terlibat lagi dalam kompetisi. Pelatnas belum ada, jadi penyusunan ranking pemain didasarkan atas Kejuaraan Nasional, beberapa bulan sebelum pertandingan Piala Thomas digelar.
Meskipun maju ke final sebagai juara bertahan (juara 1964 vs Denmark 5-4), oleh sebab itu hanya menunggu pemenang Challenge Round, sebenarnya kondisi dunia Bulutangkis di tanah air waktu itu sedang berada pada titik nadir.
Pahlawan Piala Thomas Indonesia 1958 - 1964 Tan Joe Hock telah mengundurkan diri. Ferry Sonneville sudah berusia 36 th dan sudah beberapa saat tidak terlibat lagi dalam kompetisi. Pelatnas belum ada, jadi penyusunan ranking pemain didasarkan atas Kejuaraan Nasional, beberapa bulan sebelum pertandingan Piala Thomas digelar.
Kejuaraan itu dimenangi oleh seorang
remaja klas 3 SMA asal Surabaya, Rudy Nio yang mengalahkan seniornya Muljadi
(sebelumnya bernama Ang Tjin Siang) di final.
Tapi rupanya pengurus PBSI merasa gamang untuk mempercayakan Tunggal Utama Indonesia pada remaja tanpa pengalaman internasional itu, sehingga Ferry Sonneville dipanggil kembali (meskipun tanpa melalui kompetisi) sebagai Tunggal Utama.
Tapi rupanya pengurus PBSI merasa gamang untuk mempercayakan Tunggal Utama Indonesia pada remaja tanpa pengalaman internasional itu, sehingga Ferry Sonneville dipanggil kembali (meskipun tanpa melalui kompetisi) sebagai Tunggal Utama.
Sektor ganda yang ber-tahun2 sebelumnya menjadi titik lemah Indonesia masih dipercayakan kepada Tan King Gwan (Darmawan Saputra)/Unang AP, penentu kemenangan Indonesia pada final Thomas Cup 1964 di Tokyo. Padahal, King Gwan saat itu juga sudah berumur 37 th!
Malaysia?
Tunggal Utama mereka Tan Aik Huang adalah juara All England 66, dan finalis 67 (kalah di final dari Erland Kops-Denmark). Ganda Utama mereka Ng Boon Bee/Tan Yee Khan adalah juara All England 66 dan 67 (All England waktu itu dianggap Kejuaraan Dunia tak resmi). Ditambah dengan Tunggal Kedua yang lagi ‘moncer‘ Yew Cheng Hoe (24 thn), tidak ada orang waras yang tidak mengunggulkan Malaysia.
Pertandingan Final
ini berlangsung di Istora Senayan, dalam 2 hari (9-10 Juni 1967)
Hari Pertama mempertandingkan 4 partai (2 tunggal dan 2 ganda). Hari Kedua 5 partai (2 tunggal dan 2 ganda disilang, ditambah tunggal ketiga). Syarat lain adalah minimal 1 orang pemain tunggal harus merangkap sebagai pemain ganda.
Partai pembuka adalah tunggal utama Indonesia Ferry Sonneville, kalah kecepatan oleh tunggal kedua Malaysia, Yew Cheng Hoe dan kalah dengan cukup mudah 9-15, 7-15. (Malaysia pecah telor, 0-1).
Remaja berusia 18 tahun kurang 2 bulan yang pada malam itu resmi bernama Rudy Hartono Kurniawan, tunggal kedua Indonesia, tampil pada partai kedua melawan Tan Aik Huang. Seakan ingin menunjukkan bahwa gelar Juara Seleksi Nasional yang didapatkannya bukan karena kebetulan apalagi karbitan, Rudy mencecar Tan dengan ‘overhead smash‘nya yang terkenal itu. (Ketika itu bila pemain bertangan kanan menerima lob di arah kirinya, biasanya diambil dengan pukulan backhand, berupa dropshot atau lob serang. Tapi Rudy mengambilnya dengan forehand smash. Badannya meliuk, indah namun mematikan! Ditambah dengan footworknya yang sempurna mengcover lapangan, seolah dia sedang menari balet.) Tan Aik Huang yang lebih berpengalaman dan juara All England itu tidak sempat berkembang dan kalah mudah 15-6,15-8. (Indonesia pecah telor 1-1).
Hari Pertama mempertandingkan 4 partai (2 tunggal dan 2 ganda). Hari Kedua 5 partai (2 tunggal dan 2 ganda disilang, ditambah tunggal ketiga). Syarat lain adalah minimal 1 orang pemain tunggal harus merangkap sebagai pemain ganda.
Partai pembuka adalah tunggal utama Indonesia Ferry Sonneville, kalah kecepatan oleh tunggal kedua Malaysia, Yew Cheng Hoe dan kalah dengan cukup mudah 9-15, 7-15. (Malaysia pecah telor, 0-1).
Remaja berusia 18 tahun kurang 2 bulan yang pada malam itu resmi bernama Rudy Hartono Kurniawan, tunggal kedua Indonesia, tampil pada partai kedua melawan Tan Aik Huang. Seakan ingin menunjukkan bahwa gelar Juara Seleksi Nasional yang didapatkannya bukan karena kebetulan apalagi karbitan, Rudy mencecar Tan dengan ‘overhead smash‘nya yang terkenal itu. (Ketika itu bila pemain bertangan kanan menerima lob di arah kirinya, biasanya diambil dengan pukulan backhand, berupa dropshot atau lob serang. Tapi Rudy mengambilnya dengan forehand smash. Badannya meliuk, indah namun mematikan! Ditambah dengan footworknya yang sempurna mengcover lapangan, seolah dia sedang menari balet.) Tan Aik Huang yang lebih berpengalaman dan juara All England itu tidak sempat berkembang dan kalah mudah 15-6,15-8. (Indonesia pecah telor 1-1).
Partai Ketiga adalah pertandingan
menarik. Muljadi pemain spesialis tunggal, dipasangkan dengan Agus Susanto,
kelihatan belum padu sehingga set ke1 kalah mudah 2-15 oleh Tan Aik Huang/Teh
Kew San. Set ke 2 ternyata pasangan Indonesia memberikan perlawanan keras dan
menang 18-15. Karena tidak beruntung saja set ketiga bisa dimenangi ganda
Malaysia, 12- 15 (Indonesia ketinggalan 1-2).
Partai Keempat, sekaligus penutup pertandingan malam itu, pemain ganda peringkat 1 dunia Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan tidak menemui kesulitan berarti dalam menundukkan veteran Indonesia Darmawan Saputra/Unang AP, 15-6, 15-7. (Malaysia unggul 1-3).
Penonton masih tertib (apalagi untuk ukuran sekarang!), meskipun demikian Herbert Scheele beberapa kali berdiri, berjalan2 yang dianggap ‘overacting‘ oleh penonton.
Rasanya sisa malam itu seluruh rakyat Indonesia tidak nyenyak tidur. Olahraga kebanggaan Indonesia, di kandang sendiri, harus ketinggalan 1-3. Bagaimana besok?
Partai Keempat, sekaligus penutup pertandingan malam itu, pemain ganda peringkat 1 dunia Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan tidak menemui kesulitan berarti dalam menundukkan veteran Indonesia Darmawan Saputra/Unang AP, 15-6, 15-7. (Malaysia unggul 1-3).
Penonton masih tertib (apalagi untuk ukuran sekarang!), meskipun demikian Herbert Scheele beberapa kali berdiri, berjalan2 yang dianggap ‘overacting‘ oleh penonton.
Rasanya sisa malam itu seluruh rakyat Indonesia tidak nyenyak tidur. Olahraga kebanggaan Indonesia, di kandang sendiri, harus ketinggalan 1-3. Bagaimana besok?
Malam Kedua dibuka
dengan Ferry Sonneville tunggal utama Indonesia yang dikalahkan Tan Aik Huang
nyaris tanpa keringat 2-15, 4-15. (Indonesia hampir kalah, 1-4). Saat itu,
tanpa komando, tanpa dirigen, penonton mulai kompak menyanyi “Hallo Hallo
Bandung“, “Padamu Negeri“, hingga “Rayuan Pulau Kelapa“. (Bayangkan
saja lagu dalam tempo lambat seperti “Rayuan Pulau Kelapaâ€
bisa dinyanyikan secara utuh dan kompak?)
Rudy Hartono di partai ke 2 membuktikan Indonesia masih ada dan menang (juga nyaris tanpa keringat) atas Yew Cheng Hoe, 15-5, 15-9. (Indonesia mendekat 2-4)
(Menarik diperhatikan bahwa Rudy Hartono, pada debut pertamanya di dunia Internasional tidak membiarkan lawan2nya meraih angka 10!)
Muljadi yang telat panas (seperti juga Susi Susanti, kemudian) menemui perlawanan alot veteran Malaysia 34 th, Teh Kew San di partai ke 3, meskipun menang straight set, 18-15, 15-4. (Indonesia makin dekat, 3-4).
Rudy Hartono di partai ke 2 membuktikan Indonesia masih ada dan menang (juga nyaris tanpa keringat) atas Yew Cheng Hoe, 15-5, 15-9. (Indonesia mendekat 2-4)
(Menarik diperhatikan bahwa Rudy Hartono, pada debut pertamanya di dunia Internasional tidak membiarkan lawan2nya meraih angka 10!)
Muljadi yang telat panas (seperti juga Susi Susanti, kemudian) menemui perlawanan alot veteran Malaysia 34 th, Teh Kew San di partai ke 3, meskipun menang straight set, 18-15, 15-4. (Indonesia makin dekat, 3-4).
Lagu yang dinyanyikan penonton semakin
keras, dan nyaris tanpa berhenti, bahkan ketika pemain sedang konsentrasi
melakukan servis. Wasit Kehormatan yang asal Inggris seperti duduk di atas
bara, berkali2 mondar-mandir hanya untuk menjadi bahan cemoohan penonton.
Rupanya beliau menganggap bahwa penonton pertandingan bulutangkis haruslah
tertib seperti penonton tennis.
Sungguh tidak beruntung undian pertandingan yang memaksa Muljadi hanya beristirahat 30 menit dan harus bertanding kembali di partai ke 4 bersama Agus Susanto (Ayah pemain ‘stylish‘ Indonesia, pemegang Medali Perunggu Olimpiade Barcelona 92, Hermawan Susanto). Lawannya adalah jawara Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan yang juara dunia, yang diharapkan (Malaysia!) mampu menghentikan perlawanan Indonesia, 5-3.
Harapan itu sepertinya akan terkabul, Muljadi yang belum pulih benar kondisinya jadi incaran ganda Malaysia, harus jatuh-bangun untuk kalah mudah set pertama 2-15. Set kedua kelihatannya juga akan mudah buat ganda Malaysia itu. Mereka sudah unggul jauh, dan hanya perlu 5 angka lagi dan Indonesia benar-benar harus merelakan Piala Thomas terbang ke Malaysia.
Sungguh tidak beruntung undian pertandingan yang memaksa Muljadi hanya beristirahat 30 menit dan harus bertanding kembali di partai ke 4 bersama Agus Susanto (Ayah pemain ‘stylish‘ Indonesia, pemegang Medali Perunggu Olimpiade Barcelona 92, Hermawan Susanto). Lawannya adalah jawara Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan yang juara dunia, yang diharapkan (Malaysia!) mampu menghentikan perlawanan Indonesia, 5-3.
Harapan itu sepertinya akan terkabul, Muljadi yang belum pulih benar kondisinya jadi incaran ganda Malaysia, harus jatuh-bangun untuk kalah mudah set pertama 2-15. Set kedua kelihatannya juga akan mudah buat ganda Malaysia itu. Mereka sudah unggul jauh, dan hanya perlu 5 angka lagi dan Indonesia benar-benar harus merelakan Piala Thomas terbang ke Malaysia.
Tapi kemudian
terjadilah keajaiban!
Muljadi yang pantang
menyerah, mengubah taktik, berusaha menurunkan tempo permainan sambil menata
napasnya. Ber-kali2 dia minta ganti shuttle cock (hal yang belum umum dilakukan
saat itu). Kalau ditolak, dia minta ganti raket. Lalu ber-lama2 mengusap
keringat, ganti kaos, mengikat tali sepatu di tengah lapangan ketika ganda
Malaysia bersiap servis (bahkan mengganti sepatunya!). Ganda Malaysia protes,
konsentrasi mereka pecah dan terpancing emosi, irama permainan menjadi kacau
dan banyak melakukan kesalahan sendiri. Lob keluar, smash melebar, dropshot
nyangkut. Dari ketinggalan 2-10, Muljadi/Agus berhasil memaksakan deuce 13-13.
Sampai disini bisakah dimaklumi emosi penonton yang meledak karena gembira? Ketika kondisi berbalik ‘from zero to hero‘ seperti itu, wajarkah kalau supporter Indonesia jadi histeris?
Keadaan baru benar2 tak terkendali ketika ganda Malaysia yang kalah set kedua 15-18, menolak untuk melanjutkan pertandingan. Wasit Kehormatan ter-provokasi oleh tuntutan Malaysia dan menuntut Panitia untuk mengendalikan keadaan. Keadaan berangsur jadi chaos, kalimah sakti Ganyang Malaysia! mulai ramai diteriakkan. Pertandingan kemudian dihentikan oleh Scheele.
Sampai disini bisakah dimaklumi emosi penonton yang meledak karena gembira? Ketika kondisi berbalik ‘from zero to hero‘ seperti itu, wajarkah kalau supporter Indonesia jadi histeris?
Keadaan baru benar2 tak terkendali ketika ganda Malaysia yang kalah set kedua 15-18, menolak untuk melanjutkan pertandingan. Wasit Kehormatan ter-provokasi oleh tuntutan Malaysia dan menuntut Panitia untuk mengendalikan keadaan. Keadaan berangsur jadi chaos, kalimah sakti Ganyang Malaysia! mulai ramai diteriakkan. Pertandingan kemudian dihentikan oleh Scheele.
Kejadian selanjutnya, Indonesia harus
melanjutkan pertandingan yang tersisa di tempat netral. Karena Indonesia
menolak (untuk dinyatakan ‘bersalah‘) Indonesia diputuskan kalah 6-3.
Tapi ulah penonton yang tidak tertib seperti itu ternyata bukan cuma milik Indonesia. 3 tahun kemudian penonton KL membalasnya dengan sama hebohnya, sama kurang ajarnya, tapi Tim Bulutangkis Indonesia tahun 1970 terlalu kuat untuk tuan rumah, meskipun didukung penuh oleh penonton. Indonesia di final menang telak 7-2 atas Malaysia.
Tahun 1992 Ardy Wiranata cs di Bukit Jalil harus menyaksikan spanduk raksasa yang dibentangkan supporter Malaysia “Garuda Fall†dan kalah 2-3 dari Malaysia di final.
Giliran Jakarta menjadi tuan rumah 1994, Indonesia yang sudah unggul harus kembali menerima provokasi Malaysia yang enggan meneruskan pertandingan setelah kalah 0-3.
Jadi, apakah malam itu supporter Indonesia memberikan perlakuan tak senonoh pada tamunya? Rasanya jawabannya sangat kompleks dan saling berkait sebab dan akibat. Yang jelas, saat itu Indonesia kalah karena keputusan, bukan kalah bertanding.
Tapi ulah penonton yang tidak tertib seperti itu ternyata bukan cuma milik Indonesia. 3 tahun kemudian penonton KL membalasnya dengan sama hebohnya, sama kurang ajarnya, tapi Tim Bulutangkis Indonesia tahun 1970 terlalu kuat untuk tuan rumah, meskipun didukung penuh oleh penonton. Indonesia di final menang telak 7-2 atas Malaysia.
Tahun 1992 Ardy Wiranata cs di Bukit Jalil harus menyaksikan spanduk raksasa yang dibentangkan supporter Malaysia “Garuda Fall†dan kalah 2-3 dari Malaysia di final.
Giliran Jakarta menjadi tuan rumah 1994, Indonesia yang sudah unggul harus kembali menerima provokasi Malaysia yang enggan meneruskan pertandingan setelah kalah 0-3.
Jadi, apakah malam itu supporter Indonesia memberikan perlakuan tak senonoh pada tamunya? Rasanya jawabannya sangat kompleks dan saling berkait sebab dan akibat. Yang jelas, saat itu Indonesia kalah karena keputusan, bukan kalah bertanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar